4.6.12

Bianglala


“Ayo bermain bianglala!”, ajaknya dengan menggebu.
“Ah, tapi aku takut, aku takut ketinggian”, tolakku hamper menangis.
“Aku akan menghilangkan rasa takutmu. Coba saja dulu ya..”, janjinya terujar.
Kami hanya dua bocah kecil yang belum tahu dunia.
Aku dengan kepolosanku dan dia dengan denga kesokatahuannya.
Kami bermain bianglala, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, sampai tak terasa lamanya.
Aku bahagia, selama dia yang menemaniku bermain.
Dia menjagaku, saat itu setidaknya.

Tapi tahukah kamu?

Bianglala itu mesin semu, berputar tetap pada porosnya.
Aku sedih tiap kali koin kita akan habis, kita harus turun.
Aku sedih tiap kali mengingat koin kita pasti akan habis.
Rasa ini hampir mati.
 Lalu kamu tak tega, kamu ajak lagi aku berputar lagi, duduk manis di kursi bianglala.
Aku tertawa lagi, terlalu bahagia.

Tapi tahukah kamu?

Kesemuan bertambah seiring bertambahnya putaran tiga ratus enam puluh derajat itu.
Rasa ini mati lagi, sampai-sampai tak bisa bedakan mana hitam atau putih.
Semu, Tuan!
Bianglala akan terus berputar semu.
Turun saja ya?
Istirahat, tidak lagi berputar.
Kita lelah.
Aku merengek, entah harus menyalahkan siapa.
Koinnya sudah habis ya?
Kalaupun ada lagi,
Bianglala akan tetap berputar semu kan?
Kamu teman kecilku yang baik, pernah mengajak bermain bianglala, memanjakanku sampai tak mau berhenti.
Tapi sekarang aku kesal.
Kamu tidak menepati janji.
Dan sekarang aku takut bermain wahana lain. 


{ source }

Turun sekarang?
Atau mabuk dalam putaran?

No comments:

Post a Comment